PENDAHULUAN
Kumbang
Tanduk (Lat.: Oryctes rhinocerus). adalah jenis kumbang yang tersebar luas di
Asia Tenggara, ke timur samapai pulau Irian, ke utara sampai pulau Formosa.
Kumbang dewasa berwarna hitam atau coklat tua. Panjang tubuh 3,5 - 4,5 cm
dengan kepala bertanduk. Tanduk kumbang jantan lebih panjang dan melengkung ke
belakang, sedangkan tanduk kumbang betina berupa tonjolan.
Larva
sebesar pisang susu, berwarna putih kelabu, di tutup rambut - rambut coklat dan
jarang - jarang. Kepala larva kecil berwarna coklat kemerahan. Makananya
empulur batang yang membusuk. Pupa terbungkus bahan yang terbentuk dari tanah
serta dari daun - daun dan ranting. Kumbang dewasa menempel pada pucuk daun,
menyerap cairan dan merusak jaringan daun yang masih muda. Kumbang ini banyak
terdapat pada berbagai jenis pohon palem (Palmae), bertelur pada batang tanaman
inang yang membusuk. Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) merupakan salah satu
serangan hama yang mengakibatkan kematian tanaman kelapa sawit muda hingga
1,0-2,5 persen.
Menurut
Bedford (1980), O. Rhinoceros merupakan hama endemik pada daerah pertanaman
kelapa di Asia seperti pakistan barat, india, kepulauan maldive, ceylon,
hainan, taiwan, hongkong, thailand, vietnam, malayan peninsula, indonesia dan kepulauan
philipina. Di Burma hama ini mungkin masuk dari malaysia pada tahun 1895. hama
ini masuk melalui introduksi tanaman kelapa dari pasifik dan samudra hindia ke
daerah produksi kopra di Asia Tenggara. Pada tahun 1909 dari samoa barat ke
Kepulauan Hawai. Selama perang dunia II perpindahan hama ini bertambah luas
setelah adanya pesawat terbang antar wilayah. Kumbang ini masik ke Keplauan
Palau tahun 1942, lalu ke Australia kemudian ke Irian Barat. Sedangkan menurut
Mo (1957) bahwa penyebaran hama ini meliputi seluruh Asia Tenggara dan
pulau-pulau di Pasifik Barat Daya.
Kumbang
dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian
dalam ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang menyerang pucuk dan pangkal
daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan memakan helaian daun
sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong/ tergunting membentuk huruf “V”
bila telah membuka. Gejala ini merupakan ciri khas serangan hama O. rhinoceros.
Karena
kerusakan terjadi pada pelepah daun muda, maka beberapa ekor saja sudah dapat
menyebabkan kerugian yang besar. Lima ekor kumbang per ha dalam tahap makan
sudah dapat menyebabkan kerusakan yang berat.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Hama.
Manurut
(Zaini, 1991 ) Klasifkasi hama Oryctes rhinoceros ini adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Famili : Scarabaeidae
Genus : Oryctes
Spesies : Oryctes
rhinoceros L.
Biologi Hama.
Oryctes
rhinoceros L. Merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang
melewati stadia telur, larva, pupa, dan imago.
Telur
Telur
serangga ini berarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian bulat dengan
diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga betina
pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang melapuk),
setelah 2 minggu telur-telur ini menetas. Rata-rata fekunditas seekor serangga
betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia berkisar 51
butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir.
Larva
Larva yang baru menetas berwarna putih dan setelah
dewasa berwarna putih kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan
panjang 7-10 cm. Larva deasa berukuran panjang 12 mm dengan kepala berwarna
merah kecoklatan. Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian depan. Pada
permukaan tubuh larva terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu
tersebut tumbuh lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan ( Suhadirman, 1996).
Pupa
Ukuran
pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah kecoklatan
dengan panjang 5-8 cm yang terbungkus kokon dari tanah yang berwarna kuning.
Stadia ini terdiri atas 2 fase: Fase I : selama 1 bulan, merupakan perubahan
bentuk dari larva ke pupa. Fase II : Lamanya 3 minggu, merupakan perubahan
bentuk dari pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon (Suhadirman,
1996).
Imago
Kumbang
ini berwarna gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian
punggung dan bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat
cekungan dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala (Anonim, 1980).
Kumbang
dewasa meninggalkan kokon pada malam hari dan terbang ke atas pohon kelapa,
kemudian menyusup kedalam pucuk dan membuat lubang hingga menembus pangkal
pelepah daun muda sampai di tengah pucuk dan tinggal pada lubang ini selama
5-10 hari. Bila sore hari, kumbang dewasa mencari pasangan dan kemudian kawin
(Suhadirman, 1996). Kumbang ini berwarna
gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian punggung dan
bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat cekungan
dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala (Anonim, 1980).
Serangan Hama
Hama
kumbang tanduk Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pada perkebunan kelapa
sawit dan menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai
berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit
yang sudah menghasilkan (TM). Pada areal replanting kelapa sawit, serangan
kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun dan
tanaman yang mati dapat mencapai 25%.
Cara
Oryctes menyerang yaitu Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari
dan mulai bergerak ke bagian salah satu ketiak pelepah daun paling atas.
Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah
patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2
bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf ”V”. Gejala ini
merupakan ciri khas kumbang O. rhinoceros (Purba, dkk. 2008). Serangan hama O.
rhinoceros dapat menurunkan produksi tandan buah segar pada panen tahun pertama
hingga 60 % dan menimbulkan kematian tanaman muda hingga 25 % (Pusat Penelitian
Kelapa Sawit, 2009)
Oryctes
Rhinoceros menyerang tanaman kelapa yang masih muda maupun yang sudah dewasa.
Satu serangan kemungkinan bertambah serangan berikutnya. Tanaman tertentu lebih
sering diserang. Tanaman yang sama dapat diserang oleh satu atau lebih kumbang
sedangkan tanaman di dekatnya mungkin tidak diserang.. Kumbang dewasa terbang
ke ucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu
ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat,
kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling disukai. Setelah kumbang
menggerek kedalam batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun mudah yang
sedang berkembang. Karena kumbang memakan daun yang masih terlipat, maka bekas
gigitan akan menyebabkan daun seakan-akan tergunting yang baru jelas terlihat
setelah daun membuka. Bentuk guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang
kelapa Oryctes (Anonim, 1989)
Ekologi
Semua makhluk hidup dalam proses pertumbuhan dan
oerkembangannya dipengaruhi oleh sebagai faktor, baik faktor luar maupun dari
dalam: Iklim, musuh alami, makanan dan kegiatan manusia merupakan faktor luar
yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan serangga hama . Lingkungan yang
cocok bagi suatu serangga untuk hidup dan berkembang biak meliputi beberapa
komponen antara lain makanan, iklim, organisme dari spesies yang sama maupun
yang berbeda tempat dimana ia hidup ( Untung, 1993).
Perkembangan larva ini dipengaruhi oleh iklim dan keadaan
gizi makanan. Pengaruh faktor-faktor ini ialah pada ukuran larva dan waktu yang
diperlukan untuk mematangkan larva. Faktor-faktor fisik yang dipengaruhi
perkembangan larva kumbang ini ialah suhu, kelembaban, serta intensitas cahaya.
Larva tertarik pada amonia dan aseton, tetapi menghindari asam asetat
(Anonim,1980).
Pengendalian
1.
Pengendalian
secara mekanis, yaitu dengan melakukan kutip manual kumbang yang
menyerang/ditemukan di pokok (TBM/pokok rendah) menggunakan alat kait dari
besi.
2.
Sanitasi
(eradikasi breeding site) dan kutip serangga pra-dewasa. Pengendalian
serangga ini tidak bisa terlepas dari pengelolaan tempat perkembang-biakannya (breeding
site). Pengendalian yang mengabaikan pengelolaan (eradikasi) breeding
site ibarat menguras perahu bocor tanpa menambalnya, kerusakan tanaman akan
tetap terjadi. Breeding site pada dasarnya adalah tumpukan material
organik yang akan membusuk, bisa berupa rumpukan kayu, pupuk kandang, sampah
domestik (rumah tangga) dan terutama material dari bagian-bagian tanaman sawit,
seperti pokok sawit mati (log-yang masih berdiri maupun yang sudah
tumbang), sampah TBS, hasil ketrek buah, tumpukan janjang kosong, kentosan,
limbah pabrik (fiber, cangkang), sisa cuci parit di lahan gambut
dll. Maka, penumpukan janjang kosong tidak boleh lebih dari satu lapis dan
pokok mati yang masih berdiri segera ditumbang dan dicincang (chipping)
lalu diserak, tidak boleh ditumpuk kembali agar cepat lapuk dan cepat
mengering. Apabila cara tersebut tidak memungkinkan dilakukan, maka tetap harus
dilakukan pengendalian lainnya, seperti aplikasi Cendawan entomopathogen.
3.
Penggunaan
Perangkap Feromon (Attractant). Metode pengendalian ini cocok dilakukan
pada tanaman menghasilkan (TM) yang pokoknya sudah berumur (tinggi). Feromon
merupakan substansi kimia yang dikeluarkan
oleh individu tertentu sehingga mampu menyebabkan reaksi dari individu lain
yang sejenis (CPC, 2003). Bau atau aroma dari substansi kimia tersebut akan
menarik serangga untuk mendatangi perangkap. Pheromon Trap dipasang
dengan radius coverage seluas ±2 hektar dan harus digantung
minimal 2 meter di atas permukaan tanah.
4.
Penggunaan
material penolak serangga (Reppelent). Di dalam beberapa penelitian
disebutkan bahwa penggunaan Naphthalene (Kapur Barus) memiliki
efektifitas yang sangat baik, kecuali apabila intensitas serangan sudah tinggi
(Chung, 1991). Hasil penelitian Pardede dan Utomo (1992) serta Singh
(1987) menyatakan bahwa perlakuan Naphtalene dapat menekan
serangan kumbang tanduk masing-masing secara berurutan sebesar 97% dan
95%. Jika dibandingkan dengan pengendalian kimiawi, pengendalian dengan
cara ini jauh lebih baik, lebih menguntungkan dan lebih environmentally.
Material kapur barus dan plastik cukup dibeli dengan harga sekitar Rp. 1 jt
untuk setiap blok dan dapat bertahan selama 3-4 bulan, sedangkan karbofuran
atau karbosulfan 5% perlu 40 kg/blok (Rp. 17.000/kg) dan harus dirotasi tiap 2
minggu (tidak termasuk jika curah hujan tinggi).
5.
Pengendalian
biologis, yaitu pengendalian dengan memanfaatkan organisme atau menggunakan
material yang berbahan aktif organisme musuh alaminya. Musuh alami yang sudah
sering dimanfaatkan antara lain adalah Baculovirus oryctes (virus
entomopatogen), Metharizium sp. dan Beauveria bassiana (cendawan
entomopathogen).
6.
Pengendalian
Kiwiawi, yaitu pengendalian dengan menggunakan bahan kimia. Insektisida
formulasi larutan diaplikasikan dengan penyemprotan dan formulasi granular
(karbofuran & karbosulfan) dengan cara penaburan pada ketiak daun (pucuk
daun). Penaburan atau semprot insektisida dilakukan pada semua pokok di dalam
blok yang terserang dengan ambang ekonomi 10% atau telah ditemukan 3-5 ekor/ha
(IRHO, 1991). Cara ini lebih cocok digunakan untuk pengendalian pada pokok
rendah (muda/TBM), tidak efisien untuk pokok TM.
7.
Pemantauan
melalui pengamatan berkala baik intensitas serangan maupun jenis breeding
site. Hasil evaluasi dan identifikasi ini akan dijadikan tolak ukur dalam
pengendalian.
KESIMPULAN
Pengendalian atas serangan hama kumbang tanduk yang dilakukan
secara tidak terpadu dan baru dimulai pada saat serangan yang sudah relatif
tinggi seringkali tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian
yang dilaksanakan pada tahapan pencegahan perlu di pertimbangkan untuk meminimalisir
pengeluaran biaya.
Penggunaan pestisida pada konsep pengendalian terpadu adalah
alternatif yang paling akhir yaitu ketika tingkat serangan hama sudah berada
pada tahapan yang cukup tinggi di atas ambang ekonomi. Hanya saja,
kenyataan di lapangan sering kali penggunaan pestisida an organik kustru
menjadi opsi utama didalam upaya pengendalian organisme pengganggu.
Kunci keberhasilan pengendalian secara terpadu sesungguhnya
tergantung kepada keefektifan upaya early warning system yang dilakukan oleh gugus
tugas/team proteksi hama. Hasil kegiatan monitoring dari team proteksi
hama akan dapat memetakan kondisi perkembangan status serangan dari organisme
pengganngu tanaman. Sehingga management lapangan dapat melaksanakan upaya
pengendalian yang efektif dan efisien.
DAFTAR
PUSTAKA
Jelfina C. Alouw. 2007.Feromon dan
Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros
(Coleoptera:Scarabaeidae) Buletin Palma. Buletin Palma No. 32, Juni 2007.
Dikutip tanggal 22 maret 2016.
Nation, L.N. 2002. Insect physiology and
biochemistry. CRC Press. New York. 485 p.
Purba, Razak. Akiyat, Edy Sigit Sutarta,
Agus Sutanto, Amir Purba, Condro Utomo, Donald Siahaan, Edy Suprianto, Lukman
Fadli, Rolettha, Sudharto, Winarna, Yurna Yenni, Sugiyono, Suroso Rahutomo.
2008. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Purba. Y, Dkk. 2005., Hama-hama pada Kelapa
Sawit, Buku 1 Serangga Hama pada Kelapa Sawit. PPKS, Medan.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2009. Penyakit
Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense) dan Pengendaliannya.
http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/psawit06.pdf. Dikutip tanggal 22 maret
2016.
Siregar, Junaedi . 2010. Tingkat Serangan
Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.) Pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) Berdasarkan Umur Tanaman. Bakti, Darma Marheni
Susanto, A, R.Y. Purba dan C. Utomo, 2005.
Penyakit-Penyakit infeksi Pada Kelapa Sawit. Buku 1, PPKS, Medan.
Untung K. 1993. Nutrisi Yang Diperlukan
Serangga Untuk Perkembangan Populasinya. Dikutip tanggal 22 maret 2016..http://www.google.com.edu./ent.
Untung, K., 2001. Pengantar Pengelolaan
Hama Terpadu. Gadjah Mada Uiversity Press, Yokyakarta
Wiryosoehardjo, Samino ; Budiman, Arif . 1985 . Situasi Hama Dan
Penyakit Tanaman Kelapa Di Indonesia . Seminar Proteksi Tanaman Kelapa, Bogor,
8-10 Mei 1985 . PDII – umu
Zaini. 1991. Hama tanaman Kelapa Sawit dan
Pengendaliannya. Available at. Hp://litbang.deptan.go id/hama kelapa sawit. Dikutip
tanggal 22 maret 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar