Selasa, 05 April 2016

hama tanaman



PENDAHULUAN
Kumbang Tanduk (Lat.: Oryctes rhinocerus). adalah jenis kumbang yang tersebar luas di Asia Tenggara, ke timur samapai pulau Irian, ke utara sampai pulau Formosa. Kumbang dewasa berwarna hitam atau coklat tua. Panjang tubuh 3,5 - 4,5 cm dengan kepala bertanduk. Tanduk kumbang jantan lebih panjang dan melengkung ke belakang, sedangkan tanduk kumbang betina berupa tonjolan.
Larva sebesar pisang susu, berwarna putih kelabu, di tutup rambut - rambut coklat dan jarang - jarang. Kepala larva kecil berwarna coklat kemerahan. Makananya empulur batang yang membusuk. Pupa terbungkus bahan yang terbentuk dari tanah serta dari daun - daun dan ranting. Kumbang dewasa menempel pada pucuk daun, menyerap cairan dan merusak jaringan daun yang masih muda. Kumbang ini banyak terdapat pada berbagai jenis pohon palem (Palmae), bertelur pada batang tanaman inang yang membusuk. Kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) merupakan salah satu serangan hama yang mengakibatkan kematian tanaman kelapa sawit muda hingga 1,0-2,5 persen.
Menurut Bedford (1980), O. Rhinoceros merupakan hama endemik pada daerah pertanaman kelapa di Asia seperti pakistan barat, india, kepulauan maldive, ceylon, hainan, taiwan, hongkong, thailand, vietnam, malayan peninsula, indonesia dan kepulauan philipina. Di Burma hama ini mungkin masuk dari malaysia pada tahun 1895. hama ini masuk melalui introduksi tanaman kelapa dari pasifik dan samudra hindia ke daerah produksi kopra di Asia Tenggara. Pada tahun 1909 dari samoa barat ke Kepulauan Hawai. Selama perang dunia II perpindahan hama ini bertambah luas setelah adanya pesawat terbang antar wilayah. Kumbang ini masik ke Keplauan Palau tahun 1942, lalu ke Australia kemudian ke Irian Barat. Sedangkan menurut Mo (1957) bahwa penyebaran hama ini meliputi seluruh Asia Tenggara dan pulau-pulau di Pasifik Barat Daya.
Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian dalam ketiak pelepah daun yang paling atas. Kumbang menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang belum membuka dengan cara menggerek dan memakan helaian daun sehingga mengakibatkan daun terpotong-potong/ tergunting membentuk huruf “V” bila telah membuka. Gejala ini merupakan ciri khas serangan hama O. rhinoceros.
Karena kerusakan terjadi pada pelepah daun muda, maka beberapa ekor saja sudah dapat menyebabkan kerugian yang besar. Lima ekor kumbang per ha dalam tahap makan sudah dapat menyebabkan kerusakan yang berat.













TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Hama.
Manurut (Zaini, 1991 ) Klasifkasi hama Oryctes rhinoceros ini adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Coleoptera
Famili : Scarabaeidae
Genus : Oryctes
Spesies : Oryctes rhinoceros L.
Biologi Hama.
Oryctes rhinoceros L. Merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang melewati stadia telur, larva, pupa, dan imago.
telur ory.jpgTelur





Telur serangga ini berarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian bulat dengan diameter kurang lebih 3 mm. Telur-telur ini diletakkan oleh serangga betina pada tempat yang baik dan aman (misalnya dalam pohon kelapa yang melapuk), setelah 2 minggu telur-telur ini menetas. Rata-rata fekunditas seekor serangga betina berkisar antara 49-61 butir telur, sedangkan di Australia berkisar 51 butir telur, bahkan dapat mencapai 70 butir.
pupa.jpgLarva




pupa1.jpgLarva yang baru menetas berwarna putih dan setelah dewasa berwarna putih kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang 7-10 cm. Larva deasa berukuran panjang 12 mm dengan kepala berwarna merah kecoklatan. Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian depan. Pada permukaan tubuh larva terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan ( Suhadirman, 1996).
Pupa



Ukuran pupa lebih kecil dari larvanya, kerdil, bertanduk dan berwarna merah kecoklatan dengan panjang 5-8 cm yang terbungkus kokon dari tanah yang berwarna kuning. Stadia ini terdiri atas 2 fase: Fase I : selama 1 bulan, merupakan perubahan bentuk dari larva ke pupa. Fase II : Lamanya 3 minggu, merupakan perubahan bentuk dari pupa menjadi imago, dan masih berdiam dalam kokon (Suhadirman, 1996).

oryctes rhinoceros.jpg 2.jpgImago




Kumbang ini berwarna gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian punggung dan bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat cekungan dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala (Anonim, 1980).
Kumbang dewasa meninggalkan kokon pada malam hari dan terbang ke atas pohon kelapa, kemudian menyusup kedalam pucuk dan membuat lubang hingga menembus pangkal pelepah daun muda sampai di tengah pucuk dan tinggal pada lubang ini selama 5-10 hari. Bila sore hari, kumbang dewasa mencari pasangan dan kemudian kawin (Suhadirman, 1996).  Kumbang ini berwarna gelap sampai hitam, sebesar biji durian, cembung pada bagian punggung dan bersisi lurus, pada bagian kepala terdapat satu tanduk dan tedapat cekungan dangkal pada permukaan punggung ruas dibelakang kepala (Anonim, 1980).
Serangan Hama
Hama kumbang tanduk Oryctes rhinoceros merupakan hama utama pada perkebunan kelapa sawit dan menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5 tahun. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah menghasilkan (TM). Pada areal replanting kelapa sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%.
2.jpgCara Oryctes menyerang yaitu Kumbang dewasa terbang ke tajuk kelapa pada malam hari dan mulai bergerak ke bagian salah satu ketiak pelepah daun paling atas. Kumbang merusak pelepah daun yang belum terbuka dan dapat menyebabkan pelepah patah. Kerusakan pada tanaman baru terlihat jelas setelah daun membuka 1-2 bulan kemudian berupa guntingan segitiga seperti huruf ”V”. Gejala ini merupakan ciri khas kumbang O. rhinoceros (Purba, dkk. 2008). Serangan hama O. rhinoceros dapat menurunkan produksi tandan buah segar pada panen tahun pertama hingga 60 % dan menimbulkan kematian tanaman muda hingga 25 % (Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2009)




Oryctes Rhinoceros menyerang tanaman kelapa yang masih muda maupun yang sudah dewasa. Satu serangan kemungkinan bertambah serangan berikutnya. Tanaman tertentu lebih sering diserang. Tanaman yang sama dapat diserang oleh satu atau lebih kumbang sedangkan tanaman di dekatnya mungkin tidak diserang.. Kumbang dewasa terbang ke ucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling disukai. Setelah kumbang menggerek kedalam batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun mudah yang sedang berkembang. Karena kumbang memakan daun yang masih terlipat, maka bekas gigitan akan menyebabkan daun seakan-akan tergunting yang baru jelas terlihat setelah daun membuka. Bentuk guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang kelapa Oryctes (Anonim, 1989)
serangan ory.jpg
Ekologi
Semua makhluk hidup dalam proses pertumbuhan dan oerkembangannya dipengaruhi oleh sebagai faktor, baik faktor luar maupun dari dalam: Iklim, musuh alami, makanan dan kegiatan manusia merupakan faktor luar yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan serangga hama . Lingkungan yang cocok bagi suatu serangga untuk hidup dan berkembang biak meliputi beberapa komponen antara lain makanan, iklim, organisme dari spesies yang sama maupun yang berbeda tempat dimana ia hidup ( Untung, 1993).
Perkembangan larva ini dipengaruhi oleh iklim dan keadaan gizi makanan. Pengaruh faktor-faktor ini ialah pada ukuran larva dan waktu yang diperlukan untuk mematangkan larva. Faktor-faktor fisik yang dipengaruhi perkembangan larva kumbang ini ialah suhu, kelembaban, serta intensitas cahaya. Larva tertarik pada amonia dan aseton, tetapi menghindari asam asetat (Anonim,1980).

Pengendalian
1.                  Pengendalian secara mekanis, yaitu dengan melakukan kutip manual kumbang yang menyerang/ditemukan di pokok (TBM/pokok rendah) menggunakan alat kait dari besi.
2.                  Sanitasi (eradikasi breeding site) dan kutip serangga pra-dewasa. Pengendalian serangga ini tidak bisa terlepas dari pengelolaan tempat perkembang-biakannya (breeding site). Pengendalian yang mengabaikan pengelolaan (eradikasi) breeding site ibarat menguras perahu bocor tanpa menambalnya, kerusakan tanaman akan tetap terjadi. Breeding site pada dasarnya adalah tumpukan material organik yang akan membusuk, bisa berupa rumpukan kayu, pupuk kandang, sampah domestik (rumah tangga) dan terutama material dari bagian-bagian tanaman sawit, seperti pokok sawit mati (log-yang masih berdiri maupun yang sudah tumbang), sampah TBS, hasil ketrek buah, tumpukan janjang kosong, kentosan, limbah pabrik (fiber, cangkang), sisa cuci parit di lahan gambut dll. Maka, penumpukan janjang kosong tidak boleh lebih dari satu lapis dan pokok mati yang masih berdiri segera ditumbang dan dicincang (chipping) lalu diserak, tidak boleh ditumpuk kembali agar cepat lapuk dan cepat mengering. Apabila cara tersebut tidak memungkinkan dilakukan, maka tetap harus dilakukan pengendalian lainnya, seperti aplikasi Cendawan entomopathogen.
3.                  Penggunaan Perangkap Feromon (Attractant). Metode pengendalian ini cocok dilakukan pada tanaman menghasilkan (TM) yang pokoknya sudah berumur (tinggi). Feromon merupakan substansi kimia yang dikeluarkan oleh individu tertentu sehingga mampu menyebabkan reaksi dari individu lain yang sejenis (CPC, 2003). Bau atau aroma dari substansi kimia tersebut akan menarik serangga untuk mendatangi perangkap. Pheromon Trap dipasang dengan radius coverage seluas ±2 hektar dan harus digantung minimal 2 meter di atas permukaan tanah. https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh110rkI_J2Sqy6oATVhpSx01U-BF2vgvF6nRfIOb4iEDHDV0DuDFn3yTKT-TndKaK1W4WdMeBk21mVQaFHkg92UP5TWVsHYuSXbw20_ctLpFE3OwR7xRlkj_RG79JLLVkINSLEjQf4BPo/s1600/design+perangkap+feromon+ember+2.jpg
4.                  Penggunaan material penolak serangga (Reppelent). Di dalam beberapa penelitian disebutkan bahwa penggunaan Naphthalene (Kapur Barus) memiliki efektifitas yang sangat baik, kecuali apabila intensitas serangan sudah tinggi (Chung, 1991). Hasil penelitian Pardede dan Utomo (1992) serta Singh (1987) menyatakan bahwa perlakuan Naphtalene dapat menekan serangan kumbang tanduk masing-masing secara berurutan sebesar 97% dan 95%. Jika dibandingkan dengan pengendalian kimiawi, pengendalian dengan cara ini jauh lebih baik, lebih menguntungkan dan lebih environmentally. Material kapur barus dan plastik cukup dibeli dengan harga sekitar Rp. 1 jt untuk setiap blok dan dapat bertahan selama 3-4 bulan, sedangkan karbofuran atau karbosulfan 5% perlu 40 kg/blok (Rp. 17.000/kg) dan harus dirotasi tiap 2 minggu (tidak termasuk jika curah hujan tinggi). 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUQgk6Of-ufGL0oCdFqDaXAW3to3y4dNN50p1w4GRW4sAOwQuTTOnAIkUgNprFrFjD39rlxjGeP6TW9NhTV7LzLQukqIFh37eGkG22OUdGnoI1QmRKlzvZyFlCwM6ZOBA6duBhsN6wzcw/s1600/naftalen+treatment.png
Teknis aplikasi repellent, naphtalen pada tanaman kelapa sawit muda
5.                  Pengendalian biologis, yaitu pengendalian dengan memanfaatkan organisme atau menggunakan material yang berbahan aktif organisme musuh alaminya. Musuh alami yang sudah sering dimanfaatkan antara lain adalah Baculovirus oryctes (virus entomopatogen), Metharizium sp. dan Beauveria bassiana (cendawan entomopathogen).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhP2aRrS1HPfufJ_YpAqEiDLNcC5APHYn277Tf8iN5EF3-3GAHk7uytj4B0hqZNOA3YvZotZuBpiKN6k0KqgFO9Je2zVy8QExDpMgwqsTHcRh0fJ3seHiS5JBd7Sv5aLsHsEjXMQ1JcSeo/s1600/Oryctes+kena+Metarhi.png

6.                  Pengendalian Kiwiawi, yaitu pengendalian dengan menggunakan bahan kimia. Insektisida formulasi larutan diaplikasikan dengan penyemprotan dan formulasi granular (karbofuran & karbosulfan) dengan cara penaburan pada ketiak daun (pucuk daun). Penaburan atau semprot insektisida dilakukan pada semua pokok di dalam blok yang terserang dengan ambang ekonomi 10% atau telah ditemukan 3-5 ekor/ha (IRHO, 1991). Cara ini lebih cocok digunakan untuk pengendalian pada pokok rendah (muda/TBM), tidak efisien untuk pokok TM.
7.                  Pemantauan melalui pengamatan berkala baik intensitas serangan maupun jenis breeding site. Hasil evaluasi dan identifikasi ini akan dijadikan tolak ukur dalam pengendalian.

















KESIMPULAN
Pengendalian atas serangan hama kumbang tanduk yang dilakukan secara tidak terpadu dan baru dimulai pada saat serangan yang sudah relatif tinggi seringkali tidak memberikan hasil yang memuaskan.  Pengendalian yang dilaksanakan pada tahapan pencegahan perlu di pertimbangkan untuk meminimalisir pengeluaran biaya.
Penggunaan pestisida pada konsep pengendalian terpadu adalah alternatif yang paling akhir yaitu ketika tingkat serangan hama sudah berada pada tahapan yang cukup tinggi di atas ambang ekonomi.  Hanya saja, kenyataan di lapangan sering kali penggunaan pestisida an organik kustru menjadi opsi utama didalam upaya pengendalian organisme pengganggu.
Kunci keberhasilan pengendalian secara terpadu sesungguhnya tergantung kepada keefektifan upaya early warning system yang dilakukan oleh gugus tugas/team proteksi hama.  Hasil kegiatan monitoring dari team proteksi hama akan dapat memetakan kondisi perkembangan status serangan dari organisme pengganngu tanaman. Sehingga management lapangan dapat melaksanakan upaya pengendalian yang efektif dan efisien.















DAFTAR PUSTAKA

    Jelfina C. Alouw. 2007.Feromon dan Pemanfaatannya dalam Pengendalian Hama Kumbang Kelapa Oryctes rhinoceros (Coleoptera:Scarabaeidae) Buletin Palma. Buletin Palma No. 32, Juni 2007. Dikutip tanggal 22 maret 2016.

    Nation, L.N. 2002. Insect physiology and biochemistry. CRC Press. New York. 485 p.

    Purba, Razak. Akiyat, Edy Sigit Sutarta, Agus Sutanto, Amir Purba, Condro Utomo, Donald Siahaan, Edy Suprianto, Lukman Fadli, Rolettha, Sudharto, Winarna, Yurna Yenni, Sugiyono, Suroso Rahutomo. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

    Purba. Y, Dkk. 2005., Hama-hama pada Kelapa Sawit, Buku 1 Serangga Hama pada Kelapa Sawit. PPKS, Medan.

    Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2009. Penyakit Busuk Pangkal Batang (Ganoderma boninense) dan Pengendaliannya. http://www.pustaka-deptan.go.id/agritek/psawit06.pdf. Dikutip tanggal 22 maret 2016.

    Siregar, Junaedi . 2010. Tingkat Serangan Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.) Pada Areal Pertanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Berdasarkan Umur Tanaman. Bakti, Darma Marheni

    Susanto, A, R.Y. Purba dan C. Utomo, 2005. Penyakit-Penyakit infeksi Pada Kelapa Sawit. Buku 1, PPKS, Medan.

    Untung K. 1993. Nutrisi Yang Diperlukan Serangga Untuk Perkembangan Populasinya. Dikutip tanggal 22 maret 2016..http://www.google.com.edu./ent.

    Untung, K., 2001. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada Uiversity Press, Yokyakarta

    Wiryosoehardjo, Samino  ; Budiman, Arif . 1985 . Situasi Hama Dan Penyakit Tanaman Kelapa Di Indonesia . Seminar Proteksi Tanaman Kelapa, Bogor, 8-10 Mei 1985 . PDII – umu

    Zaini. 1991. Hama tanaman Kelapa Sawit dan Pengendaliannya. Available at. Hp://litbang.deptan.go id/hama kelapa sawit. Dikutip tanggal 22 maret 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar